Malam itu (10/5) ada 12 student LIP menerima sertifikat tanda penamatan program. Mereka selama enam bulan berada di Kampus Losnito untuk belajar dan mmpelajari berbagai mata pelajaran. Yang paling utama adalah bahasa Inggris, bahasa Jerman dan ilmu pasti seperti Kimia, Matematika dan Biologi.
Hospitality yang merupakan bagian dari pembentukan Karakter dari budaya Papua menuju ke budaya International, juga mereka pelajari. Table Manner, Field Trip ke Hotel dan rumah sakit Siloam bertaraf International mereka jalani untuk menambah wawasan apabila mereka kelah hidup di Eropa.
Selama enam bulan, mereka tinggal di asrama untuk belajar
mandiri dan hidup bersama dalam komunitas yang saling bantu membantu di bawah
bimbingan pembina Asrama.
“Ide untuk menyekolahkan ke Jerman bagi generari penerus Papua
ini datang begitu saja. Awal ceritanya datang dari Bapak Bertus Tabuni yang mendapat
kesempatan keliling Eropa. Australia, Korea dan Canada, Amerika. Sepulangnya
dari Eropa dan kembali ke tanah Papua, beliau merasa prihatin dengan kondisi
Papua yang jauh dari modern meski memiliki kekayaan alam yang luar biasa.
Karena itu, Bapak Bertus bersama masyarakat mendirikan Yayasan Harapan Pola
Papua untuk menyiapkan generasi muda Papua bisa belajar ke Luar negeri. Niatnya
ini semakin nyata ketika bertemu langsung dengan Prof. Josef Herman Buchkremer
dari Universitas Aachen Jerman yang menjadi direktor Freshman Institute. Dari
100 pendaftar, kemudian disaring menjadi 50, lalu 20 dan terakhir 15, namun
yang datang ke Manado hanya 12 orang” ungkap Pak Yohanes Tabuni dalam sambutannya
pada acara penamatan dan perpisahan student LIP di Green Garden, Tomohon.
Hujan dan gerimis di malam hari itu tak mengganggu acara
perpisahan. Sebaliknya semakin seru hangat ketika terjadi dialog antara orang
Jerman dan anak Papua. Malam itu yang hadir selain pengurus LIP, pengajar dan
student juga hadir (kebetulan) dua orang Jerman dan orang Indonesia yang studi
di Jerman.
“Yoppy dan Novi ini dulu orang biasa yang tidak mengerti bahasa Jerman dan akhirnya bisa menyelesaikan studinya di Jerman dan bekerja di jerman. Dari yang tidak bisa apa-apa menjadi bisa” ungkap pak Jimmy W.
Novi kemudian bercerita tentang pengalaman hidupnya di
Jerman. Kemudian Novi memberikan nasehatnya kepada para student dari Papua.
Yang pertama, jangan lupa membawa pakaian tradisional dan sekaligus bisa
memamerkan kepada orang Jerman lewat tari-tarian Tradisional. Kesenian
tradisional sangat dihargai oleh orang Jerman. “Saya dulu bisa hidup dan
mendapatkan tambahan keuangan karena saya dipanggil untuk acara-acara pembukaan
untuk menari Minahasa, Bali dan sebagainya” sharing Novi.
Yoppy Ruru, asal Manado, bercerita tentang dulu kuliah Arsitekturnya
di Jerman (1986). Aktifis Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia di Jerman ini
bercerita tentang tips dan trik study di Jerman. Ia juga membawa dua orang
Jerman yang adalah anak-anak dari teman Jermannya. Dalam suasana dialog dengan
student Papua yang akan ke Jerman, ia memberikan tipsnya.
(1)
Kuliah di Jerman itu tidak ada absen. Bukan
Dosen yang mencari mahasiswa tetapi mahasiswa datang kuliah untuk mencari
Dosen. Terserah mau datang ke kampus atau tidak bukan urusan dosen. Ini artinya
apa? Siapa saja yang belajar ke Jerman harus punya “tekad, niat untuk belajar”.
Apalagi di jerman boleh kerja. Universitas, fakultas atau dosen tidak akanpeduli
terhadap mahaiswa yang menyambi kerja. Yang penting elama prestasi kuliah bagus,
tidak masalah.
(2)
Ujian di Jerman hanya boleh dua kali. Kalau kamu
ujian sampai dua kali, itu tandanya kamu tidak berniat menjadi Arsitektur. Kalau
mau niat untuk belajar tidak perlu ujian dua kali.
(3)
Kalau sudah kuliah di Jerman jangan hanya
bergerombol dengan temanya sendiri atau orang-orang Asia. Cari teman orang Jerman
untuk saling berbagi ilmu dan mengembangkan ilmu bersama.
(4)
Rekamlah saat Dosen mengajar. Awal kuliah Yoppy
tidak mengerti apa yang diterangkan oleh Dosen meski telah lulus bahasa Jerman
dari Goethe Institut. Karena itu dengan “walkman” ia rekam pelajaran dan
diulang di rumah. Tak hanya itu, kemudian ia berani bertanya kepada dosen.
Dengan cara merekam dan bertanya, akirnya kuliahnya bisa lancar. Orang sangat
terbuka terhadap setiap pertanyaan mahasiswa. “Malu bertanya sesat di jalan”
ungkapnya.
(5)
Orang Jerman sangat menghargai sikap orang yang
terbuka apa adanya. Maksudnya, jangan pernah berbohong di hadapan orang Jerman.
Sekali berbohong di hadapan mereka, urusannya bisa panjang dan berbelit-belit. “Emosi
anak muda harus dikontrol supaya berani terbuka apa adanya” tegas Yoppy.
Suasana dialog semakin hangat, kendati udara dingin di kaki
Gunung Lokon makin terasa di kulit seiring dengan jarum jam yang semakin larut malam.
“Dinginnya Jerman bisa diatasi pertama-tama dengan memakai
kaos kaki. Jika kaki hangat maka seluruh tubuh menjadi hangat. Oh ya di sana
orang tidak boleh sembarang cuci baju. Saluran air pembuangan sudah di atur.
Jadi air wastafel, pembuangan airnya tidak sama dengan pembuangan air mesin
cuci, demikian juga shower di kamar mandi. “Jangan sekali-kali mencoba cuci
baju di wastafel. Orang Jerman akan marah sekali. Cuci baju disediakan di mesin
cuci dengan memasukkan koin” nasehat Yoppy.
Malam itu suasana saling berbagai pengalaman baik saat
belajar di LIP dan pengalaman belajar di Jerman, makin menghangat sehingga memotivasi
para student makin kuat dan segera ingin belajar ke Jerman. Pertunjukan para
student dengan menggunakan bahasa Jerman, bahasa Inggris dan bahasa daerah
Papua mendapat apresiasi dari orang Jerman yang hadir dalam acara perpisahan
itu.
“Merubah menjadi kuat”
menjadi semakin nyata di malam hari ini. Acara pun ditutup dengan makan
bersama. Saya pun melahap menu “Minahasa food” dengan lahapnya karena perut
sudah lapar sejak tadi. Sambil menikmati hindangan, saya bermimpi, sepuluh
tahun ke depan Papua dari yang biasa saja pasti bisa menjadi propinsi yang kuat
dan maju karena generasi penerusnya sudah pulang dari Jerman.
0 komentar:
Post a Comment