23 February 2013

Jelajah Alam: Menembus Hutan Mahawu


Saat ini, cuaca di seluruh Indonesia, memang sedang tidak bersahabat. Dari jejaring sosial dan media massa, disebutkan hampir di seluruh Indonesia banyak turun hujan. Tak ajal, beberapa kota dilanda banjir seperti di Jakarta, Jayapura, Semarang, Manado dan beberapa kota lain.


Meski demikian, pada hari Minggu (20/1) saya dan 8 siswa yang berasal dari Papua, mengadakan trekking ke Hutan Mahawu. Kami berangkat dari Alamanda pada pukul setengah sepuluh. Sehabis sarapan nasi goreng dengan lauk telur mata sapi, kami bersiap untuk menembus hutan Mahawu yang berada di belakang tempat tinggal kami.

Saat kami mau berangkat, mentari telah menyapa kami dengan sinarnya. Kehangatannya membakar adrenalin kami untuk segera berangkat. “Kalau hujan bagaimana Bapa?” kata Eramona yang kemudian diiyakan oleh teman-teman lainnya. “Yakin saja pasti tidak hujan” jawab saya. Wajar, kalau kami cemas karena memang saat ini musim penghujan.

Tas Kamera slempang dan tripod tak lupa saya bawa. Dengan mengenakan celana pendek dan sepatu olah raga (ada 2 siswa yang pakai sandal) kami berangkat melalui jalan setapak untuk masuk hutan Mahawu. Hutan yang kam jelajahi itu, berada di lereng Gunung Mahawu sebelah barat dengan ketinggian kurang lebih 1100 m dpl. Meski panas terasa di badan, namun kesejukan dan udara pegunungan masih kami rasakan dengan nyaman.

“Tolong kalau melihat binatang yang unik beritahu saya ya” seru saya kepada para siswa. “Untuk apa Bapa?” tanya Marwan Awi, pemuda dari Suku Awi, asal kampung Nafri. “Mau saya foto. Sekaligus berusaha mengenal binatang apa saja yang menghuni di hutan Mahawu ini” tegas saya.



Jejak langkah kami makin lama makin tak ketara karena kami harus melewati semak belukar dan jalan tanah yang makin lama makin membukit. “Patokan arah jalan, adalah menyusuri jalan setapak atau jalan yang sering dilalui oleh orang-orang” kata saya memberi penjelasan. Mengapa ini saya katakan, karena saya dulu pernah berjalan dari puncak Mahawu lalu menembus hutan dan akhirnya sampai di lokasi di mana kami tinggal yaitu di jalan lingkar Timur.

Bebekal pengalaman itu, saya ajak mereka trekking menembus hutan Mahawu selain memperkenalkan lingkungan dan juga berolahraga untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kepenatan seminggu belajar dan kerja. Refreshing di hari Minggu.

“Bapa, saya jadi ingat kampung halaman di Wamena (Lembah Baliem). Persis suasananya seperti ini. Masih semak belukar. Banyak pepohonan. Jadi rindu pulang kampung Bapa” ucap Alfeus Haselo,  dari Suku Yalli yang kampung halamannya beranama Kurima, Kabupaten Yukimo.

Memasuki hutan Mahawu kami melihat aneka macam pepohonan dan tanaman semak belukar. Beberapa di antara kami melihat pohon Cempaka, pohon Mahoni, pohon Manggis, pohon Nangka yang dugaan kami merupakan pohon reboisasi dan sudah bukan pohon hutan asli. Kami juga melihat ada yang buka ladang di hutan dengan bercocok tanam sayuran seperti sawi, jagung, buah jipang, kacang panjang, rica rawit, dll. Sayang, ladang mereka kelihatan tak terawat dan dibiarkan begitu saja.

Di tengah hutan itu, kami menemukan papan nama kegiatan “Pembuatan Hutan Rakyat” yang dikelola oleh Kelompok Tani Mahawu Jaya dengan biaya Rp. 32.995.783,- Ada 1000 bibit batang pohon Cempaka dan Mahoni yang ditanam. Sejauh mata memandang ke kanan-kiri, kami hanya melihat semak belukar yang dugaan kami menutupi bibit yang ditanam.

Tak lama kemudian, kami menjumpai sebuah pondok yang tampaknya bukan hanya untuk berteduh tetapi untuk tempat tinggal. Di kanan kiri pondok itu, dipakai untuk bercocok tanam sayuran. Ketika kami melewati pondok itu, kami disambut dengan gonggongan anjing. Tak urung, Om yang punya pondok keluar dan menyapa kami.

“Dari mana kang?” “Dari Kakaskasen, Om. Ini lagi jalan-jalan refreshing maso hutang” jawab saya. “Kalau ke kanan ke mana Om?” “Ke puncak Gunung””Ke kiri?” “Bisa tembus ke jalan Lingkar Timur”. “Makase ya Om. Selamat hari Minggu” “Selamat Hari Minggu juga”.

Trekking ke hutan Mahawu kami lanjutkan. Sempat kami juga bingung mencari jalan keluar dari hutan. Kami tidak bawa kompas atau GPS. Yang kami andalkan adalah jalan setapak hutan yang terlihat bekas-bekas jalan roda (gerobak sapi) dan sepeda motor trail. Selain tanda-tanda itu, kami juga mengikuti jalan di mana air mengalir. Akhirnya kami pun lega, menemukan jalan keluar dan tiba di jalan aspal yang masyarakat bilang jalan Kampung Kali.

Beberapa serangga yang sempat kami foto adalah belalang, berbagai jenis laba-laba, capung merah, lalat merah, serangga lain yang tak tahu namanya. Uniknya ada beberapa serangga yang sering kami jumpai seperti “walangsangit” warna orange.

“Bagaimana perjalanan trekking tadi?” tanya saya setelah mereka sampai di rumah. “Asyiiik Bapa. Waktu di dalam hutan nggak terasa lelah, tapi ketika sudah sampai di jalan beraspal, wouwww terasa jauhs sekali” ungkap Sita Wenda, asal suku Lanny dari Kampung Phirami, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Hampir empat jam kami berjalan menembus hutan Mahawu. Semuanya merasa lelah namun wajah mereka tampak gembira dan segar setelah menjelajahi hutan mahawu. “Rindu kampung terobati sudah dan kami merasa segar setelah seminggu berkutat dalam pelajaran di sekolah” lanjut Sita. Seketika itu juga hujan deras mengguyur kami padahal sekitar dua ratus meter kami tiba di Alamanda. Spontan kami berteriak sambil berlari-lari dan terengah-engah menembus lebatnya hujan.




Saat ini, cuaca di seluruh Indonesia, memang sedang tidak bersahabat. Dari jejaring sosial dan media massa, disebutkan hampir di seluruh Indonesia banyak turun hujan. Tak ajal, beberapa kota dilanda banjir seperti di Jakarta, Jayapura, Semarang, Manado dan beberapa kota lain.

Meski demikian, pada hari Minggu (20/1) saya dan 8 siswa yang berasal dari Papua, mengadakan trekking ke Hutan Mahawu. Kami berangkat dari Alamanda pada pukul setengah sepuluh. Sehabis sarapan nasi goreng dengan lauk telur mata sapi, kami bersiap untuk menembus hutan Mahawu yang berada di belakang tempat tinggal kami.

Saat kami mau berangkat, mentari telah menyapa kami dengan sinarnya. Kehangatannya membakar adrenalin kami untuk segera berangkat. “Kalau hujan bagaimana Bapa?” kata Eramona yang kemudian diiyakan oleh teman-teman lainnya. “Yakin saja pasti tidak hujan” jawab saya. Wajar, kalau kami cemas karena memang saat ini musim penghujan.


Tas Kamera slempang dan tripod tak lupa saya bawa. Dengan mengenakan celana pendek dan sepatu olah raga (ada 2 siswa yang pakai sandal) kami berangkat melalui jalan setapak untuk masuk hutan Mahawu. Hutan yang kam jelajahi itu, berada di lereng Gunung Mahawu sebelah barat dengan ketinggian kurang lebih 1100 m dpl. Meski panas terasa di badan, namun kesejukan dan udara pegunungan masih kami rasakan dengan nyaman.

“Tolong kalau melihat binatang yang unik beritahu saya ya” seru saya kepada para siswa. “Untuk apa Bapa?” tanya Marwan Awi, pemuda dari Suku Awi, asal kampung Nafri. “Mau saya foto. Sekaligus berusaha mengenal binatang apa saja yang menghuni di hutan Mahawu ini” tegas saya.

Jejak langkah kami makin lama makin tak ketara karena kami harus melewati semak belukar dan jalan tanah yang makin lama makin membukit. “Patokan arah jalan, adalah menyusuri jalan setapak atau jalan yang sering dilalui oleh orang-orang” kata saya memberi penjelasan. Mengapa ini saya katakan, karena saya dulu pernah berjalan dari puncak Mahawu lalu menembus hutan dan akhirnya sampai di lokasi di mana kami tinggal yaitu di jalan lingkar Timur.


Bebekal pengalaman itu, saya ajak mereka trekking menembus hutan Mahawu selain memperkenalkan lingkungan dan juga berolahraga untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kepenatan seminggu belajar dan kerja. Refreshing di hari Minggu.

“Bapa, saya jadi ingat kampung halaman di Wamena (Lembah Baliem). Persis suasananya seperti ini. Masih semak belukar. Banyak pepohonan. Jadi rindu pulang kampung Bapa” ucap Alfeus Haselo,  dari Suku Yalli yang kampung halamannya beranama Kurima, Kabupaten Yukimo.

Memasuki hutan Mahawu kami melihat aneka macam pepohonan dan tanaman semak belukar. Beberapa di antara kami melihat pohon Cempaka, pohon Mahoni, pohon Manggis, pohon Nangka yang dugaan kami merupakan pohon reboisasi dan sudah bukan pohon hutan asli. Kami juga melihat ada yang buka ladang di hutan dengan bercocok tanam sayuran seperti sawi, jagung, buah jipang, kacang panjang, rica rawit, dll. Sayang, ladang mereka kelihatan tak terawat dan dibiarkan begitu saja.

Di tengah hutan itu, kami menemukan papan nama kegiatan “Pembuatan Hutan Rakyat” yang dikelola oleh Kelompok Tani Mahawu Jaya dengan biaya Rp. 32.995.783,- Ada 1000 bibit batang pohon Cempaka dan Mahoni yang ditanam. Sejauh mata memandang ke kanan-kiri, kami hanya melihat semak belukar yang dugaan kami menutupi bibit yang ditanam.

Tak lama kemudian, kami menjumpai sebuah pondok yang tampaknya bukan hanya untuk berteduh tetapi untuk tempat tinggal. Di kanan kiri pondok itu, dipakai untuk bercocok tanam sayuran. Ketika kami melewati pondok itu, kami disambut dengan gonggongan anjing. Tak urung, Om yang punya pondok keluar dan menyapa kami.

“Dari mana kang?” “Dari Kakaskasen, Om. Ini lagi jalan-jalan refreshing maso hutang” jawab saya. “Kalau ke kanan ke mana Om?” “Ke puncak Gunung””Ke kiri?” “Bisa tembus ke jalan Lingkar Timur”. “Makase ya Om. Selamat hari Minggu” “Selamat Hari Minggu juga”.

Trekking ke hutan Mahawu kami lanjutkan. Sempat kami juga bingung mencari jalan keluar dari hutan. Kami tidak bawa kompas atau GPS. Yang kami andalkan adalah jalan setapak hutan yang terlihat bekas-bekas jalan roda (gerobak sapi) dan sepeda motor trail. Selain tanda-tanda itu, kami juga mengikuti jalan di mana air mengalir. Akhirnya kami pun lega, menemukan jalan keluar dan tiba di jalan aspal yang masyarakat bilang jalan Kampung Kali.

Beberapa serangga yang sempat kami foto adalah belalang, berbagai jenis laba-laba, capung merah, lalat merah, serangga lain yang tak tahu namanya. Uniknya ada beberapa serangga yang sering kami jumpai seperti “walangsangit” warna orange.

“Bagaimana perjalanan trekking tadi?” tanya saya setelah mereka sampai di rumah. “Asyiiik Bapa. Waktu di dalam hutan nggak terasa lelah, tapi ketika sudah sampai di jalan beraspal, wouwww terasa jauhs sekali” ungkap Sita Wenda, asal suku Lanny dari Kampung Phirami, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Hampir empat jam kami berjalan menembus hutan Mahawu. Semuanya merasa lelah namun wajah mereka tampak gembira dan segar setelah menjelajahi hutan mahawu. “Rindu kampung terobati sudah dan kami merasa segar setelah seminggu berkutat dalam pelajaran di sekolah” lanjut Sita. Seketika itu juga hujan deras mengguyur kami padahal sekitar dua ratus meter kami tiba di Alamanda. Spontan kami berteriak sambil berlari-lari dan terengah-engah menembus lebatnya hujan.

0 komentar:

Post a Comment