Saat ini, cuaca di seluruh Indonesia, memang sedang tidak
bersahabat. Dari jejaring sosial dan media massa, disebutkan hampir di seluruh
Indonesia banyak turun hujan. Tak ajal, beberapa kota dilanda banjir seperti di
Jakarta, Jayapura, Semarang, Manado dan beberapa kota lain.
Meski demikian, pada hari Minggu (20/1) saya dan 8 siswa
yang berasal dari Papua, mengadakan trekking ke Hutan Mahawu. Kami berangkat
dari Alamanda pada pukul setengah sepuluh. Sehabis sarapan nasi goreng dengan
lauk telur mata sapi, kami bersiap untuk menembus hutan Mahawu yang berada di
belakang tempat tinggal kami.
Saat kami mau berangkat, mentari telah menyapa kami dengan
sinarnya. Kehangatannya membakar adrenalin kami untuk segera berangkat. “Kalau
hujan bagaimana Bapa?” kata Eramona yang kemudian diiyakan oleh teman-teman
lainnya. “Yakin saja pasti tidak hujan” jawab saya. Wajar, kalau kami cemas
karena memang saat ini musim penghujan.
Tas Kamera slempang dan tripod tak lupa saya bawa. Dengan mengenakan
celana pendek dan sepatu olah raga (ada 2 siswa yang pakai sandal) kami
berangkat melalui jalan setapak untuk masuk hutan Mahawu. Hutan yang kam
jelajahi itu, berada di lereng Gunung Mahawu sebelah barat dengan ketinggian
kurang lebih 1100 m dpl. Meski panas terasa di badan, namun kesejukan dan udara
pegunungan masih kami rasakan dengan nyaman.
“Tolong kalau melihat binatang yang unik beritahu saya ya”
seru saya kepada para siswa. “Untuk apa Bapa?” tanya Marwan Awi, pemuda dari
Suku Awi, asal kampung Nafri. “Mau saya foto. Sekaligus berusaha mengenal
binatang apa saja yang menghuni di hutan Mahawu ini” tegas saya.
Jejak langkah kami makin lama makin tak ketara karena kami
harus melewati semak belukar dan jalan tanah yang makin lama makin membukit.
“Patokan arah jalan, adalah menyusuri jalan setapak atau jalan yang sering
dilalui oleh orang-orang” kata saya memberi penjelasan. Mengapa ini saya
katakan, karena saya dulu pernah berjalan dari puncak Mahawu lalu menembus hutan
dan akhirnya sampai di lokasi di mana kami tinggal yaitu di jalan lingkar
Timur.
Bebekal pengalaman itu, saya ajak mereka trekking menembus
hutan Mahawu selain memperkenalkan lingkungan dan juga berolahraga untuk
menyegarkan badan dan menghilangkan kepenatan seminggu belajar dan kerja.
Refreshing di hari Minggu.
“Bapa, saya jadi ingat kampung halaman di Wamena (Lembah
Baliem). Persis suasananya seperti ini. Masih semak belukar. Banyak pepohonan.
Jadi rindu pulang kampung Bapa” ucap Alfeus Haselo, dari Suku Yalli yang kampung halamannya
beranama Kurima, Kabupaten Yukimo.
Memasuki hutan Mahawu kami melihat aneka macam pepohonan dan
tanaman semak belukar. Beberapa di antara kami melihat pohon Cempaka, pohon
Mahoni, pohon Manggis, pohon Nangka yang dugaan kami merupakan pohon reboisasi
dan sudah bukan pohon hutan asli. Kami juga melihat ada yang buka ladang di
hutan dengan bercocok tanam sayuran seperti sawi, jagung, buah jipang, kacang
panjang, rica rawit, dll. Sayang, ladang mereka kelihatan tak terawat dan
dibiarkan begitu saja.
Di tengah hutan itu, kami menemukan papan nama kegiatan
“Pembuatan Hutan Rakyat” yang dikelola oleh Kelompok Tani Mahawu Jaya dengan
biaya Rp. 32.995.783,- Ada 1000 bibit batang pohon Cempaka dan Mahoni yang
ditanam. Sejauh mata memandang ke kanan-kiri, kami hanya melihat semak belukar
yang dugaan kami menutupi bibit yang ditanam.
Tak lama kemudian, kami menjumpai sebuah pondok yang
tampaknya bukan hanya untuk berteduh tetapi untuk tempat tinggal. Di kanan kiri
pondok itu, dipakai untuk bercocok tanam sayuran. Ketika kami melewati pondok
itu, kami disambut dengan gonggongan anjing. Tak urung, Om yang punya pondok
keluar dan menyapa kami.
“Dari mana kang?” “Dari Kakaskasen, Om. Ini lagi jalan-jalan
refreshing maso hutang” jawab saya. “Kalau ke kanan ke mana Om?” “Ke puncak
Gunung””Ke kiri?” “Bisa tembus ke jalan Lingkar Timur”. “Makase ya Om. Selamat
hari Minggu” “Selamat Hari Minggu juga”.
Trekking ke hutan Mahawu kami lanjutkan. Sempat kami juga
bingung mencari jalan keluar dari hutan. Kami tidak bawa kompas atau GPS. Yang
kami andalkan adalah jalan setapak hutan yang terlihat bekas-bekas jalan roda
(gerobak sapi) dan sepeda motor trail. Selain tanda-tanda itu, kami juga
mengikuti jalan di mana air mengalir. Akhirnya kami pun lega, menemukan jalan
keluar dan tiba di jalan aspal yang masyarakat bilang jalan Kampung Kali.
Beberapa serangga yang sempat kami foto adalah belalang, berbagai
jenis laba-laba, capung merah, lalat merah, serangga lain yang tak tahu
namanya. Uniknya ada beberapa serangga yang sering kami jumpai seperti
“walangsangit” warna orange.
“Bagaimana perjalanan trekking tadi?” tanya saya setelah
mereka sampai di rumah. “Asyiiik Bapa. Waktu di dalam hutan nggak terasa lelah,
tapi ketika sudah sampai di jalan beraspal, wouwww terasa jauhs sekali” ungkap
Sita Wenda, asal suku Lanny dari Kampung Phirami, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Hampir empat jam kami berjalan menembus hutan Mahawu.
Semuanya merasa lelah namun wajah mereka tampak gembira dan segar setelah menjelajahi
hutan mahawu. “Rindu kampung terobati sudah dan kami merasa segar setelah
seminggu berkutat dalam pelajaran di sekolah” lanjut Sita. Seketika itu juga
hujan deras mengguyur kami padahal sekitar dua ratus meter kami tiba di
Alamanda. Spontan kami berteriak sambil berlari-lari dan terengah-engah
menembus lebatnya hujan.
Saat ini, cuaca di seluruh Indonesia, memang sedang tidak
bersahabat. Dari jejaring sosial dan media massa, disebutkan hampir di seluruh
Indonesia banyak turun hujan. Tak ajal, beberapa kota dilanda banjir seperti di
Jakarta, Jayapura, Semarang, Manado dan beberapa kota lain.
Meski demikian, pada hari Minggu (20/1) saya dan 8 siswa
yang berasal dari Papua, mengadakan trekking ke Hutan Mahawu. Kami berangkat
dari Alamanda pada pukul setengah sepuluh. Sehabis sarapan nasi goreng dengan
lauk telur mata sapi, kami bersiap untuk menembus hutan Mahawu yang berada di
belakang tempat tinggal kami.
Saat kami mau berangkat, mentari telah menyapa kami dengan
sinarnya. Kehangatannya membakar adrenalin kami untuk segera berangkat. “Kalau
hujan bagaimana Bapa?” kata Eramona yang kemudian diiyakan oleh teman-teman
lainnya. “Yakin saja pasti tidak hujan” jawab saya. Wajar, kalau kami cemas
karena memang saat ini musim penghujan.
Tas Kamera slempang dan tripod tak lupa saya bawa. Dengan mengenakan
celana pendek dan sepatu olah raga (ada 2 siswa yang pakai sandal) kami
berangkat melalui jalan setapak untuk masuk hutan Mahawu. Hutan yang kam
jelajahi itu, berada di lereng Gunung Mahawu sebelah barat dengan ketinggian
kurang lebih 1100 m dpl. Meski panas terasa di badan, namun kesejukan dan udara
pegunungan masih kami rasakan dengan nyaman.
“Tolong kalau melihat binatang yang unik beritahu saya ya”
seru saya kepada para siswa. “Untuk apa Bapa?” tanya Marwan Awi, pemuda dari
Suku Awi, asal kampung Nafri. “Mau saya foto. Sekaligus berusaha mengenal
binatang apa saja yang menghuni di hutan Mahawu ini” tegas saya.
Jejak langkah kami makin lama makin tak ketara karena kami
harus melewati semak belukar dan jalan tanah yang makin lama makin membukit.
“Patokan arah jalan, adalah menyusuri jalan setapak atau jalan yang sering
dilalui oleh orang-orang” kata saya memberi penjelasan. Mengapa ini saya
katakan, karena saya dulu pernah berjalan dari puncak Mahawu lalu menembus hutan
dan akhirnya sampai di lokasi di mana kami tinggal yaitu di jalan lingkar
Timur.
Bebekal pengalaman itu, saya ajak mereka trekking menembus
hutan Mahawu selain memperkenalkan lingkungan dan juga berolahraga untuk
menyegarkan badan dan menghilangkan kepenatan seminggu belajar dan kerja.
Refreshing di hari Minggu.
“Bapa, saya jadi ingat kampung halaman di Wamena (Lembah
Baliem). Persis suasananya seperti ini. Masih semak belukar. Banyak pepohonan.
Jadi rindu pulang kampung Bapa” ucap Alfeus Haselo, dari Suku Yalli yang kampung halamannya
beranama Kurima, Kabupaten Yukimo.
Memasuki hutan Mahawu kami melihat aneka macam pepohonan dan
tanaman semak belukar. Beberapa di antara kami melihat pohon Cempaka, pohon
Mahoni, pohon Manggis, pohon Nangka yang dugaan kami merupakan pohon reboisasi
dan sudah bukan pohon hutan asli. Kami juga melihat ada yang buka ladang di
hutan dengan bercocok tanam sayuran seperti sawi, jagung, buah jipang, kacang
panjang, rica rawit, dll. Sayang, ladang mereka kelihatan tak terawat dan
dibiarkan begitu saja.
Di tengah hutan itu, kami menemukan papan nama kegiatan
“Pembuatan Hutan Rakyat” yang dikelola oleh Kelompok Tani Mahawu Jaya dengan
biaya Rp. 32.995.783,- Ada 1000 bibit batang pohon Cempaka dan Mahoni yang
ditanam. Sejauh mata memandang ke kanan-kiri, kami hanya melihat semak belukar
yang dugaan kami menutupi bibit yang ditanam.
Tak lama kemudian, kami menjumpai sebuah pondok yang
tampaknya bukan hanya untuk berteduh tetapi untuk tempat tinggal. Di kanan kiri
pondok itu, dipakai untuk bercocok tanam sayuran. Ketika kami melewati pondok
itu, kami disambut dengan gonggongan anjing. Tak urung, Om yang punya pondok
keluar dan menyapa kami.
“Dari mana kang?” “Dari Kakaskasen, Om. Ini lagi jalan-jalan
refreshing maso hutang” jawab saya. “Kalau ke kanan ke mana Om?” “Ke puncak
Gunung””Ke kiri?” “Bisa tembus ke jalan Lingkar Timur”. “Makase ya Om. Selamat
hari Minggu” “Selamat Hari Minggu juga”.
Trekking ke hutan Mahawu kami lanjutkan. Sempat kami juga
bingung mencari jalan keluar dari hutan. Kami tidak bawa kompas atau GPS. Yang
kami andalkan adalah jalan setapak hutan yang terlihat bekas-bekas jalan roda
(gerobak sapi) dan sepeda motor trail. Selain tanda-tanda itu, kami juga
mengikuti jalan di mana air mengalir. Akhirnya kami pun lega, menemukan jalan
keluar dan tiba di jalan aspal yang masyarakat bilang jalan Kampung Kali.
Beberapa serangga yang sempat kami foto adalah belalang, berbagai
jenis laba-laba, capung merah, lalat merah, serangga lain yang tak tahu
namanya. Uniknya ada beberapa serangga yang sering kami jumpai seperti
“walangsangit” warna orange.
“Bagaimana perjalanan trekking tadi?” tanya saya setelah
mereka sampai di rumah. “Asyiiik Bapa. Waktu di dalam hutan nggak terasa lelah,
tapi ketika sudah sampai di jalan beraspal, wouwww terasa jauhs sekali” ungkap
Sita Wenda, asal suku Lanny dari Kampung Phirami, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Hampir empat jam kami berjalan menembus hutan Mahawu.
Semuanya merasa lelah namun wajah mereka tampak gembira dan segar setelah menjelajahi
hutan mahawu. “Rindu kampung terobati sudah dan kami merasa segar setelah
seminggu berkutat dalam pelajaran di sekolah” lanjut Sita. Seketika itu juga
hujan deras mengguyur kami padahal sekitar dua ratus meter kami tiba di
Alamanda. Spontan kami berteriak sambil berlari-lari dan terengah-engah
menembus lebatnya hujan.
0 komentar:
Post a Comment