“Tanah
Papua tanah yang kaya/surga kecil jatuh ke bumi/Seluas tanah sebanyak madu/adalah
harta harapan”
Syair lagu itu terdengar sedikit lirih di telinga saya bersamaan dengan deru
mesin diesel minibus Elf Silver, yang mengangkut 13 mahasiswa LIP untuk field-trip ke bumi Toar Lumimuut
Minahasa, Minggu lalu (4/11). Eramona, salah satu gadis Papua, mendendangkan
lagu “papua” itu dengan merdu penuh penghayatan. Lagu “papua” yang dipopulerkan
oleh Edo Kondologit, tak lama kemudian terdengar membahana dan menggilas suara
deru mesin minibus. Serentak mereka menyanyikan lagu Papua itu.
Bersamaan dengan nyanyian itu, dari jendela minibus, tampak panorama
menghijau agrowisata, tumbuh subur di setiap lekukan pada punggung pegunungan Minahasa
dan sekitarnya. Perjalanan ke bukit Temboan, Rurukan, siang itu, dinikmati
dalam suasana “papua”.
Tiba-tiba rem minibus berderit. Kami sudah tiba di bukit Temboan. Kami
turun dan kemudian melangkah ke depan rumah panggung. Di tempat itu, sejauh
mata memandang kami bisa melihat Danau Tondano, Pelabuhan Bitung, dan
pegunungan Masarang, Tampusu dll. Sebelum meninggalkan bukit Temboan, kami
berfoto.
“Eh kawan, luas mana danau Setani sama danau Tondano yang ada di sebelah sana?”
tanya saya kepada Jeffry Komba, ketua mereka setelah masuk kembali ke minibus.
“Besar Sentani Bapa” jawabnya dengan sopan. “Oh ya?” respon saya ragu-ragu
karena belum pernah melihat Danau Setani. Lalu saya berinisiatif untuk browsing
di internet dengan menggunakan tablet yang saya bawa. Ternyata Danau Sentani luasnya
245.000 ha, sementara Danau Tondano luasnya 4.278 ha. “Bapak tempat tadi, bikin
rindu kampung bapak. Seperti di pegunungan Wamena sudah” komentar Adolof
Wetipo.
Menyusuri alam Minahasa itu bak surga kecil jatuh ke bumi.Seluas tanah
sebanyak madu adalah harta harapan di masa depan bagi Eramona dan kawan-kawannya
seperti lagu yang dinyanyikan tadi. Namun, harta harapan itu yang berupa tanah
Papua tanah leluhur, mereka tinggalkan sejenak untuk mencari ilmu sekaligus asa
di tanah seberang di Sulawesi. Mereka baru dua minggu menginjakkan kakinya di
tanah Nyiur Melambai ini.
Aktivitas field trip tadi merupakan salah satu bagian dari proses pembelajaran
mereka untuk mempersiapkan diri study lanjut ke German. Ada tiga belas siswa
datang dari Propinsi Papua (Jayapura dan Wamena) untuk mempersiapkan diri agar
bisa kuliah di German di tahun mendatang. Karena itu, LIP, tempat mereka
belajar, memfasilitasi belajar mereka dengan mata kuliah antara lain bahasa
German, Matematika, Biologi, Ekonomi, Fisika, Hospility dll.
“Saya ingin jadi dokter. Kalau saya ingin jadi arsitektur. Saya suka jadi
dokter kandungan. Bisnis Managemen, Teknil sipil” itulah jawaban mereka ketika
ditanya tentang cita-cita mereka. Meski diungkap secara spontan, paling tidak ungkapan
mereka itu menjelaskan semangat dan arah hidup yang dipilih ketika mereka sudah
sampai di Jerman.
“Sebelum datang ke Manado, kami di seleksi dari 106 siswa yang mendaftar.
Lolos 15 siswa tapi yang datang hanya 13 siswa” cerita Adolof menceritakan
betapa ketatnya seleksi. Tak hanya itu, Profesor dari German datang ke Jayapura
untuk memotivasi kami.
Proses pembelajaran untuk mereka dibuat sangat intensif karena hanya enam
bulan mereka disiapkan di program yang bernama LIP. Minggu pun diisi dengan
pembekalan yang terkait dengan hospitality seperti table manner, hospital tour,
art performance dll. Untuk table manner, sebuah hotel mewah di Manado bersedia
dipakai untuk kegiatan pembelajaran.
“Kami senang menerima kedatangan para student LIP, kami berharap muncul
dokter-dokter pribumi dari Papua yang ingin membangun daerahnya dengan baik.
Rumah Sakit kami sudah menyiapkan program yang bernama “hospital tour” untuk
mereka yang ingin mempelajari tentang seluk beluk rumah sakit. Tak hanya
ceramah tetapi melihat langsung proses manajerial di rumah sakit kami” jawab
Manager Rumah Sakit Manado yang bertaraf International ketika Tim Pengajar LIP
memohon untuk tempat pembelajaran bagi mereka.
Lagu Papua kembali menggema ketika perjalanan kami sampai di jalan raya Kawangkoan Lahendong sebelum masuk ke Danau Linow. “Tanah Papua tanah leluhur/Di sana aku lahir/Bersama angin bersama daun/Aku dibesarkan//Hitam kulit keriting rambut aku papua/Hitam kulit keriting rambut aku papua/ Biar nanti langit terbelah aku papua…”
Mereka adalah generasi muda Papua yang meletakkan
asa untuk mengembangkan karakter mereka dan menimba ilmu di negeri orang. Hanya
satu cita-cita utama mereka. Setelah merantau sekitar 4-5 tahun, mereka pulang
ke tanah leluluhur untuk Papua. Semangat ini memotivasi mereka dalm belajar. “Guten
Morgen, Vater. Am Montag gehe ich in schule.” ucap Anas Kilungga, sambil
menghafal bahasa Jerman, saat berpapasan dengan saya pagi tadi sebelum
berangkat ke sekolah.
0 komentar:
Post a Comment