22 February 2013

Guten Morgen, Papua!



“Tanah Papua tanah yang kaya/surga kecil jatuh ke bumi/Seluas tanah sebanyak madu/adalah harta harapan”

Syair lagu itu terdengar sedikit lirih di telinga saya bersamaan dengan deru mesin diesel minibus Elf Silver, yang mengangkut 13 mahasiswa LIP untuk field-trip ke bumi Toar Lumimuut Minahasa, Minggu lalu (4/11). Eramona, salah satu gadis Papua, mendendangkan lagu “papua” itu dengan merdu penuh penghayatan. Lagu “papua” yang dipopulerkan oleh Edo Kondologit, tak lama kemudian terdengar membahana dan menggilas suara deru mesin minibus. Serentak mereka menyanyikan lagu Papua itu.

Bersamaan dengan nyanyian itu, dari jendela minibus, tampak panorama menghijau agrowisata, tumbuh subur di setiap lekukan pada punggung pegunungan Minahasa dan sekitarnya. Perjalanan ke bukit Temboan, Rurukan, siang itu, dinikmati dalam suasana “papua”.

Tiba-tiba rem minibus berderit. Kami sudah tiba di bukit Temboan. Kami turun dan kemudian melangkah ke depan rumah panggung. Di tempat itu, sejauh mata memandang kami bisa melihat Danau Tondano, Pelabuhan Bitung, dan pegunungan Masarang, Tampusu dll. Sebelum meninggalkan bukit Temboan, kami berfoto.

 “Eh kawan, luas mana danau Setani sama danau Tondano yang ada di sebelah sana?” tanya saya kepada Jeffry Komba, ketua mereka setelah masuk kembali ke minibus. “Besar Sentani Bapa” jawabnya dengan sopan. “Oh ya?” respon saya ragu-ragu karena belum pernah melihat Danau Setani. Lalu saya berinisiatif untuk browsing di internet dengan menggunakan tablet yang saya bawa. Ternyata Danau Sentani luasnya 245.000 ha, sementara Danau Tondano luasnya 4.278 ha. “Bapak tempat tadi, bikin rindu kampung bapak. Seperti di pegunungan Wamena sudah” komentar Adolof Wetipo.

Menyusuri alam Minahasa itu bak surga kecil jatuh ke bumi.Seluas tanah sebanyak madu adalah harta harapan di masa depan bagi Eramona dan kawan-kawannya seperti lagu yang dinyanyikan tadi. Namun, harta harapan itu yang berupa tanah Papua tanah leluhur, mereka tinggalkan sejenak untuk mencari ilmu sekaligus asa di tanah seberang di Sulawesi. Mereka baru dua minggu menginjakkan kakinya di tanah Nyiur Melambai ini.

Aktivitas field trip tadi merupakan salah satu bagian dari proses pembelajaran mereka untuk mempersiapkan diri study lanjut ke German. Ada tiga belas siswa datang dari Propinsi Papua (Jayapura dan Wamena) untuk mempersiapkan diri agar bisa kuliah di German di tahun mendatang. Karena itu, LIP, tempat mereka belajar, memfasilitasi belajar mereka dengan mata kuliah antara lain bahasa German, Matematika, Biologi, Ekonomi, Fisika, Hospility dll.

“Saya ingin jadi dokter. Kalau saya ingin jadi arsitektur. Saya suka jadi dokter kandungan. Bisnis Managemen, Teknil sipil” itulah jawaban mereka ketika ditanya tentang cita-cita mereka. Meski diungkap secara spontan, paling tidak ungkapan mereka itu menjelaskan semangat dan arah hidup yang dipilih ketika mereka sudah sampai di Jerman.

“Sebelum datang ke Manado, kami di seleksi dari 106 siswa yang mendaftar. Lolos 15 siswa tapi yang datang hanya 13 siswa” cerita Adolof menceritakan betapa ketatnya seleksi. Tak hanya itu, Profesor dari German datang ke Jayapura untuk memotivasi kami.

Proses pembelajaran untuk mereka dibuat sangat intensif karena hanya enam bulan mereka disiapkan di program yang bernama LIP. Minggu pun diisi dengan pembekalan yang terkait dengan hospitality seperti table manner, hospital tour, art performance dll. Untuk table manner, sebuah hotel mewah di Manado bersedia dipakai untuk kegiatan pembelajaran.

“Kami senang menerima kedatangan para student LIP, kami berharap muncul dokter-dokter pribumi dari Papua yang ingin membangun daerahnya dengan baik. Rumah Sakit kami sudah menyiapkan program yang bernama “hospital tour” untuk mereka yang ingin mempelajari tentang seluk beluk rumah sakit. Tak hanya ceramah tetapi melihat langsung proses manajerial di rumah sakit kami” jawab Manager Rumah Sakit Manado yang bertaraf International ketika Tim Pengajar LIP memohon untuk tempat pembelajaran bagi mereka.


Lagu Papua kembali menggema ketika perjalanan kami sampai di jalan raya Kawangkoan Lahendong sebelum masuk ke Danau Linow. “Tanah Papua tanah leluhur/Di sana aku lahir/Bersama angin bersama daun/Aku dibesarkan//Hitam kulit keriting rambut aku papua/Hitam kulit keriting rambut aku papua/ Biar nanti langit terbelah aku papua…”

Mereka adalah generasi muda Papua yang meletakkan asa untuk mengembangkan karakter mereka dan menimba ilmu di negeri orang. Hanya satu cita-cita utama mereka. Setelah merantau sekitar 4-5 tahun, mereka pulang ke tanah leluluhur untuk Papua. Semangat ini memotivasi mereka dalm belajar. “Guten Morgen, Vater. Am Montag gehe ich in schule.” ucap Anas Kilungga, sambil menghafal bahasa Jerman, saat berpapasan dengan saya pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah.



0 komentar:

Post a Comment