22 February 2013

Studi Ke Jerman? Siapa Takut

Siapa yang tidak mengenal sosok BJ Habibie dan Fauzi Bowo? Selain mantan Presiden RI dan mantan Gubenur DKI, kedua tokoh ini adalah ikon lulusan pendidikan di Jerman. Mengenal beliau berarti anda juga mengenal bagaimana kualitas “pendidikan” di Jerman.

Selama tiga hari (7,8,9 Januari 2012) yang lalu, saya dan dua orang teman “hunting” ke berbagai tempat yang menyiapkan lulusan SMA yang ingin kuliah di Jerman. Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, bahwa minat siswa untuk melanjutkan kuliah ke Jerman akhir-akhir ini meningkat. Terutama siswa dari Papua dan Indonesia Timur lainnya.

Jerman menjadi daya tarik bagi siswa lulusan SMA bukan semata-mata nama besar BJ Habibie dan Fauzi Bowo. Tetapi, melanjutkan pendidikan di Jerman adalah cita-cita dan harapan yang terpendam bagi setiap anak Papua. “Saya ingin melanjutkan studi ke jurusan tehnik Sipil. Pembangunan infra-struktur di Papua masih kurang dan tidak merata” ungkap Adolof Wetipo, dari Wamena yang sedang menyiapkan diri bersama 11 teman lainnya untuk ke Jerman. “Kalau saya ingin studi kedokteran, khususnya ambil dokter kandungan. Penginnya sih bantu penduduk pribumi yang melahirkan” sambung Elkana Ginia asal Keerom.

“Sebenarnya tawaran melanjutkan studi ke luar negeri bagi anak Papua lulusan SMA sudah ada, sejak lima tahun belakangan ini. Pemprov Papua melalui Biro SDM-nya jemput bola ke sekolah-sekolah dan untuk menyeleksi siswa 10 besar terbaik. Tapi pemilihan siswa itu diskriminatif atau tebang pilih karena dari komposisi penduduk Propinsi Papua, 75% dari pegunungan (Wamena, Keerom, Pyramid) dan 25% dari wilayah pantai (Serui, Sentani, Jayapura) yang dipilih berasal dari siswa pantai. Unsur nepotisme pun kadang berbicara terkait dengan anak para pejabat sehingga kesan pemerataan pendidikan tak ada” jelas salah satu pengurus Harapan Papua yang peduli akan pendidikan berkelanjutan bagi generasi muda Papua.

Ke mana mereka melanjutkan studinya? “Tak hanya Jerman, tapi mereka juga dikirim untuk studi di Belanda, Inggris, Perancis dan negara Eropa lainnya” ungkap Elkana yang pernah diseleksi oleh Biro SDM Pemprop tapi tak pernah dipanggil dan justru teman dekatnya yang dipilih meski soal kepandaian ia merasa tak kalah dengan mereka.

Selama di Jakarta kami mengunjungi Yayasan Indonesia-Jerman (berdiri sejak 2003) yang berkantor di Grand Wijaya Center dan Pak Ardhi, lulusan Jerman, sebagai Konsultan YIJ menyambut kami dnegan ramah bukan karena beliau pernah datang ke kampus kami di Lokon tetapi karena beliau sangat peduli terhadap siswa yang akan lanjut studi ke Jerman. “Pahit manisnya di Jerman sudah saya alami ketika saya studi di Jerman” kata Ardhi membuka pembicaraan. Kami juga bertnadang ke Goethe Institut Jakarta di Menteng, secara terpisah. Kami pun sempat berkunjung ke “Campus France” di Salemba untuk

Selama kunjungan itu, kami mendapat gambaran tentang bagaimana lulusan SMA bisa melanjutkan studinya ke Jerman. “Untuk bisa kuliah di Universitas Jerman, calon mahasiswa harus menguasai bahasa Jerman yang dibuktikan dengan ijasah level B1 (“Zertifikat Deutsch”) sesuai dengan Kesepakatan Eropa untuk Jenjang Kompetensi Bahasa. Untuk meraih B1, siswa harus lebih dulu melampai level A1 dan A2. Waktu belajar untuk setiap level 160 jam. Jadi untuk tiga level, 480 jam. Tapi kualitas pelajrannya sangat intensif dengan pengajar yang profesional” jelas Ibu Maria Fischer.

Kami juga ditunjukkan buku-buku pelajaran bahasa Jerman yang digunakan yaitu “Themen Neu 1,2,3 dan studio d A1, A2 dan B1”. Sayangnya untuk mendapatkan buku-buku itu di toko buku seperti Gramedia seperti yang diinformasikan, ternyata sudah habis terjual. Untungnya kami mendapat fotokopian sehingga menghilangkan kekecewaan kami dalam berburu buku pelajaran bahasa Jerman.

Kami pun mendapatkan informasi tentang bedanya Studienkolleg Indonesia yang dikelola oleh Yayasan Indonesia-Jerman (Indonesich-Deutsche Stifung) dan Goethe Institut Jakarta. Studienkolleg Indonesia merupakan hasil kerjasama Jerman-Indonesia antara dua mitra yakni Yayasan Indonesia-Jerman dan Studienkolleg Universitas Leibniz Hannover di negara bagian Niedersachsen. Lokasi kelasnya di Sekolah Internasional Jerman (DIS) yang berada di Bumi Serpong Damai.
Calon mahasiswa yang belajar di Studienkolleg Indonesia dijamin mendapat kepastian berangkat ke Jerman dengan bukti kelulusan dari Studienkolleg dan bukti penerimaan dari perguruan tinggi Jerman.

Goethe Institut menerima siapa saja yang ingin belajar bahasa Jerman. Tak hanya calon mahasiswa yang melanjutkan studi ke Jerman tetapi bisa juga para pegawai negeri/karyawan swasta yang ditugaskan ke Jerman entah untuk studi atau kursus dan lainnya. Demikian juga anak-anak yang karena tugas orang tuanya ke Jerman harus sekolah ke Jerman. Goethe dipercaya oleh Pemerintah Jerman untuk menerbitkan ijasah level B1 bahasa Jerman.

Apakah ada kemungkinan Goethe dan YIJ menyebarkan jaringannya ke kawasan Indonesia Timur guna memfasilitasi para siswa lulusan SMA yang melanjutkan studinya ke Jerman? Itulah pertanyaan dan sekaligus misi kami datang ke lembaga yang mempersiapkan calon-calon mahasiswa yang studi ke Jerman. Kami berharap mendapat tanggapan positif dari mereka meski selama ini Goethe baru membuka cabang di Bandung dan Surabaya. Sedangkan Yayasan Indonesia-Jerman (YIJ) kini sedang mempersiapkan 17 orang anak Papua (Fakfak dan sekitarnya) untuk ke Jerman setelah terjalin kerjasama dengan Propinsi Papua.

“Selain Jakarta, anak-anak Papua yang akan kuliah di Jerman atau Eropa disiapkan di Makasar, Bali” cerita Elkana Ginia karena ada teman sekolahnya yang ikut dipilih. Tetapi pemilihan siswa itu, masih menyebarkan bau diskriminatif dan terkesan kurang ada pemerataan bagi anak asli Papua. Buktinya, beberapa siswa dari pegunungan Wamena, Pyramid dan sekitarnya telah mengikuti seleksi yang dilakukan oeh alah satu Profesor dari Universitas Aachen Jerman. Dari sekian ratus siswa yang diseleksi, ada 12 orang yang diterima dan kini sedang mengikuti LIP (Losnito Intensive Program) di asrama kami.

Hampir setiap hari mereka giat belajar bahasa Jerman, Inggris, Matematika dan lainnya untuk mempersiapkan diri ke Jerman yang direncanakan akan berangkat bulan April nanti. Sebelumnya mereka sudah menyiapkan diri dengan paspor.

Ke Jerman? Siapa takut.

0 komentar:

Post a Comment