LIP - Sabtu (31/3) yang lalu saya dengan rombongan LIP berjumlah 17 orang, mengisi waktu libur Paskah untuk berwisata ke pulau Lihaga. Dengan menggunakan mobil Elf dan Kijang, kami meluncur ke Lihaga dari Tomohon. Perjalanan Lihaga hanya sampai di pelabuhan Serei, setelah melewati pelabuhan Munte, dan kami tempuh sekitar 2,5 jam melalui rute jalan ke Manado-Tomohon, belok ke arah Citraland, lalu belok ke arah Bitung, melalui Maumbi. Traffic light pertigaan Sukur, kami belok ke kiri mengikuti jalan ke arah Likupang dan melewati Laikit, Kokole, Kuala Batu, Munte dan Serei.
Perjalanan kami begitu nyaman karena jalannya sudah beraspal
hotmix. Jelang pelabuhan nelayan Serei ada jalan yang rusak sepanjang 2 meter
karena abrasi pantai. Berangkat jam
08.30, tiba di pelabuhan itu sekitar pukul 11 wita.
Jauh-jauh hari kami
sudah “booking” perahu untuk kami sewa pulang pergi ke Lihaga. “Di pulau tidak ada orang ba jual. Semua harus
kita siapkan dulu. Saya sudah pesan ikan untuk bakar di sana. Bumbu “barito”
(bawang, rica dan tomat) kita bawa dari rumah. Termasuk peralatan dapur seperti
pisau, piring, sendok, aqua dan tempurung untuk bakar ikan. Yah, seperti mo
kemping” ujar Jimmy mengingatkan kepada kami.
Saat memasuki area parkir, banyak mobil yang sudah parkir. Sabtu
ini, Lihaga ramai dikunjungi oleh wisatawan lainya. “Perahu kita yang bersandar
sebelah sana. Warna hijau kuning. Ada atapnya.
Jangan masuk yang putih biru fiberglas speed boat itu ya” aba-aba saya
kepada rombongan. Setelah itu kami masuk ke kapal bersama bawaan kami yang
terdiri dari lima galon aqua, dua dos aqua gelas, lima buah pepaya, satu panci
nasi, sayur, lauk pauk dan tas-tas yang berisi peralatan renang dan baju ganti.
Sebagian besar rombongan baru kali ini ke Lihaga kecuali
saya. Maka tak heran ketika naik perahu banyak yang lebih suka duduk di ujung
perahu dan sebagian di atap. Nyaris tak ada yang mau duduk di dalam perahu. Alasannya
keindahan pulau dan lautnya begitu mempesona. Meski tak lama kemudian ada empat
orang yang turun dek perhau karena ombak mulai menggoncang saat berada di
tengah laut.
Langit yang saat itu membiru cerah menyanding rasa suka kami.
Tampak, gumpalan awan hanya sedikit. Kami merasa beruntung karena saat itu
cuaca memang cerah. Kendati, perahu menggoncang naik turun seirama dengan ombak
laut, bukannya memabukkan tapi justru makin merasa gembirak dibuatnya. Tak
sedikit yang bertanya di mana pulau Lihaga itu? Saya pun langsung menunjuk arah
pulau Lihaga dan di sampingnya itu pulau Gangga berpasir putih dan berpenduduk.
Penyeberangan itu, memakan waktu tak kurang dari lima belas
menit, kami sudah ancang-ancang untuk menepi. Satu persatu kami turun dengan
bawaan yang dibantu oleh tiga awak kapal.
Saya melihat di pulau itu tak hanya kami yang berwisata. Banyak rombongan
lain yang sudah lebih dulu datang dan menempati tempat-tempat duduk di bawah
pohon.
Setelah mendapatkan tempat di bawah pohon, kami letakkan
barang. Sementara Jimmy mengambil ikan pesanan kami di pulau Gangga. Hal yang
pertama yang kami buat adalah membuat perapian untuk membakar ikan. Yang lain
dipersilahkan untuk jalan-jalan keliling pulau.
“Marjo sebelum ikan ini dibakar. Foto dulu ama ikan Tengiri
yang masih segar ini. Kira-kira satu meter lebih panjang ikan” pinta Jimmy
setelah mendapatkan ikan pesanan kami. Banyak yang suka difoto bersama ikan,
“Mancing mania..!!!” teriak seorang siswa kami. Setelah berfoto dengan ikan
besar itu, ikan lalu dipotong dan kemudian ditaruh di atas bara api. Betapa
nikmatnya kami menyantap kuliner ikan Tengiri dan ikan Kakap merah itu di saat
perut sudah mulai keroncongan.
Siang itu selain cerah, terasa terik di badan. “Maklumlah
kami ini orang gunung yang seharian mendapat kesejukan. Sekarang di pulau,
minta ampun panasnya. Basuar (berkeringat) dan muka merah seperti kepiting
rebus” ungkap Ine Wowiling, salah satu pembimbing.
Begitulah alam di Lihaga. Panas namun pasir putihnya yang
lembut halus seperti bedak dan air lautnya yang bersih membiru serasa melupakan
segala-galanya. Setelah kami makan siang dengan makan ikan Tengiri yang masih
fresh, dicocol dabu-dabu, serta buah pepaya, kami siap-siap untuk berenang dan
berfutsal pantai. Kami mulai berenang itu ketika jarum jam menunjuk pada pukul
3 sore karena teriknya matahari.
Sungguh gembiranya kami bersendau-gurau sambil berenang di
bibir pantai yang jernih. Ada yang berinisiatif untuk menguburkan diri dengan
ditimbuni lembutnya pasir putih. Adegan pura-pura menangis di kubur pun mencuat
lucu, disaksikan para wisatawan lainnya. Saking panasnya ada juga membedaki di wajahnya
dengan pasir putih. Begitu gembiranya
kami menikmati semuanya itu hingga senja tiba.
Tips Ke Pulau Lihaga
Indahnya pulau Lihaga tak kalah dengan Bunaken, baik dari
kepuasan maupun alamnya. Meski demikian saya ingin berbagi tips buat anda yang
ingin berwisata ke Lihaga.
Sebelum berangkat, pastikan anda sudah pesan perahu
sebelumnya. Ada tiga jenis perahu. Perahu besar dengan harga sewa per perahu
pulang pergi Rp. 800.000,- pulang pergi dan nunggu selama kita berada di pulau.
Perahu sudah dicarter oleh rombongan anda.
Speed Boat Rp. 500.000,- (dengan catatan rombongan anda bergantian
dengan rombongan lain). Atau perahu tempel kecil yang berkapasitas sekitar lima
orang denga harga nego. Semua perahu bersedia menerima request untuk keliling
pulau Lihaga atau ke Pulau Gangga. Untuk special request ini, perlu ada nego
soal harga. Kurang lebih satu juta untuk perahu besar.
Tiket masuk dan kebersihan ke pulau Lihaga per orang Rp.
25.000,- Jika anda ingin bilas badan di ruang ganti, setelah mandi per ember
air harganya Rp. 15.000,- Pulau ini tak ada air bersih. Mereka membawa airnya
dari Serei.
Ingin juga berwisata kuliner? Kami pesan ikan segar dari
nelayan di Gangga. Satu ekor ikan tengiri sepanjang satu meter lebih plus 3 ikan
Kakap Merah, total Rp. 140.000,- Kalau sedang musimnya, anda bisa mendapatkan
juga gurita, atau cumi-cumi. Untuk soal makan minum, sebaiknya dipersiapkan
sebelum anda bernagkat. Tempat bakar bisa membuat sendiri di situ.
Demi keamanan berenang di laut, sebaiknya jangan berenang
jauh dari bibir pantai. Pulau Lihaga terkenal dengan arus bawah laut yang
membahayakan meski ada nelayan yang mengawasi di kapal untuk memberi peringatan
agar berada di daerah aman berenang.
Pulau Lihaga memang menggoda orang yang suka berfoto.
Sekeliling pulau bisa dimantaafkan untuk berfoto. Tak sedikit fotografer yang
memanfaatkan momen sunset dan sunrise. Karena itu jangan lupa membawa kamera
atau video untuk mendokumentasikan wisata anda di Lihaga.
Oh ya pastikan anda juga orang yang suka menjaga kebersihan
lingkungan dengan tidak membuang smapah sembarangan dan men inggalkan sampah di
pulau. Bawalah tas kresek plastik untuk tempat sampah. Sejauh pemantauan,
Lihaga sudah banyak dihuni oleh sampah-sampah yang ditinggal oleh wisatawan di
sana-sini. Mengandalkan penjaga untuk membersihkan sampah, masih jauh dari
harapan.
Kami sempat mengadakan sepakbola pantai. Bola kami bawa dari
rumah. Bila ingin sport pantai seperti sepakbola, volley, siapkan bola dari
rumah. Pulau Lihaga kini makin populer tak hanya masyarakat yang
berlibur ke situ, tetapi mulai ditawarkan kepada wistawan sebagai salah satu
alternatif dalam itinerary oleh tour and travel.
“Bagaimana tadi puas?” tanya saya kepada beberapa siswa di
perahu saat kami pulang sebelum senja tiba. “Damai Bapa. Indah pulaunya. Kapan
datang ulang ke pulau lagi Bapa. Masih pengen berenang dan bakar ikan di sana”
jawab Etha Eramona yang diiyakan oleh teman-temannya.
0 komentar:
Post a Comment